AREP NGGOLEKI LIYONE MONGGO TULIS NGISOR IKI .....

Minggu, 21 Februari 2010

HUKUM AKAL

HUKUM AKAL
Wednesday, February 18, 2009
Sesungguhnya tiap-tiap seorang yang hendak mengenal ALLAH Taala dan mengetahui sifat-sifat-Nya maka wajiblah lebih dahulu ia mengetahui akan hukum akal dan bagiannya, karena ia jadi neraca bagi hendak menghukumkan sifat-sifat Tuhan yang diperintahkan mengenal itu. Sekalipun permulaan wajib atas tiap-tiap mukallaf mengenal Tuhan tetapi permulaan wajib untuk mengenal sifat-sifat Tuhan itu ialah mengetahui hukum-hukum akal.

Pengertian Hukum Akal
Hukum akal itu ialah menetapkan suatu perkara kepada suatu perkara yang lain atau menafikan suatu perkara daripada perkara yang lain dengan tidak berkehendak kepada dicoba pada menetapkan sesuatu perkara itu (bersalahan hukum 'adi yakni adat) dan tidak tergantung kepada sesuatu perbuatan yang diperbuat oleh mukallaf (yang bersalahan hukum syarii).

Pengertian Akal
Adalah akal itu satu sifat yang dijadikan Tuhan pada manusia sehingga dengan dia terbeda manusia daripada hewan. Maka dengan dialah bisa menerima alam nazariah (pengetahuan yang berkehendak pikir) dan bisa mentadbirkan segala-gala pekerjaan dengan pikiran yang halus-halus dan yang sulit-sulit dan daripadanya tempat terbit dan terpancar berbagai-bagai manfaat dan kebagiaan bagi manusia. Tetapi kiranya akal itu bersendirian maka tidak akan dapat akal sejahtera, akal waras dan akal sehat melainkan berpandu kepada undang-undang syarak, demikian juga undang-undang syarak tidak bisa berjalan mengikut yang dikehendaki melainkan berhajat kepada akal. Walhasil antara kedua-duanya itu berlaziman dan berhajat antara satu dengan yang lain (akal berhajat kepada syarak dan syarak berhajat kepada akal).

SETIAP mukallaf itu wajib mengenal ALLAH SWT. Ia merupakan perkara yang terawal sekali di dalam agama. Sebab itu dikatakan, Awaluddin makrifatulluh yaitu “Awal-awal agama itu mengenal ALLAH”.

Cara Mengenal ALLAH SWT
Cara mengenal ALLAH SWT bukanlah dengan melihat dan sebagainya karena ALLAH SWT itu Maha Suci daripada menyerupai segala yang baru segala makhluk. ALLAH SWT tidak berbentuk, tidak berupa, tidak terjadi daripada jirim (benda), tidak mengambil tempat atau ruang, serta tidak berpihak seperti tidak di atas, tidak di bawah dan tidak di mana-mana. Karena itu, ALLAH SWT tidak dapat dilihat dengan mata kepala, tidak dapat dipegang dan tidak dapat dirasa. Jadi, kita tidak bisa mengenal ALLAH dengan cara itu.

Cara untuk mengenal ALLAH SWT ialah dengan mengetahui sifat-sifat-Nya. Dan apabila telah kita ketahui sifat-sifat ALLAH itu, dapatlah kita mengenal zat ALLAH SWT hingga dapat kita membedakan zat Khaliq (Tuhan) dengan zat makhluk. Dan cara hendak mengenal ALLAH melalui sifat-sifat-Nya itu ialah dengan menggunakan akal.

Sebab itu, seorang mukallaf yang wajib mengenal ALLAH itu ialah seorang yang sudah berakal karena akal pikiran penting untuk mengenal Tuhan dengan mengetahui sifat-sifat-Nya. Dengan akal itu nantilah kita akan dapat membedakan di antara sifat Tuhan dengan sifat makhluk. Dan oleh itu, seseorang itu tidak akan dapat mengetahui ALLAH dengan sebenar-sebenarnya kalau dia tidak mengetahui hukum akal. Jadi, wajiblah kita mengetahui hukum akal ini karena ia ibarat neraca bagi membedakan antara zat ALLAH SWT dengan zat makhluk.

Oleh itu, di sini kita akan membahas dan memperkatakan tentang akal, pengertian akal, serta hukum akal. Ia merupakan perkara yang amat penting dalam ilmu tauhid. Selain hukum akal, dalam ilmu tauhid juga terdapat dua jenis hukum lagi yaitu hukum adat dan hukum syarak. Kedudukan tiga jenis hukum ini berbeda-beda antara satu dengan yang lain.

Mengapa kita katakan wajib untuk mengetahui hukum akal itu?
Dalam syariat atau perundangan Islam, terdapat kaedah feqah atau qawa’idul fiqh yang menetapkan bahwa kalau perjalanan menuju ke satu-satu matlamat (tujuan) itu wajib, maka menempuh jalan-jalan yang membawa ke matlamat itu dikira wajib juga.

Untuk memahaminya, kita perhatikan satu contoh. Bagi mendirikan sembahyang, kita wajib berwudhuk dengan air. Katakanlah kita berada di satu kampung yang tidak terdapat sumber air semulajadi seperti air perigi, air mata air, sungai, laut, dan sebagainya. Dan satu-satunya jalan yang mudah untuk mendapatkan air ialah dengan menggali perigi. Maka menggali perigi itu hukumnya wajib. Inilah yang dimaksudkan dengan kaedah feqah tadi: Bila satu-satu matlamat itu wajib, menempuh jalan-jalan untuk menuju ke matlamat itu juga wajib.

Dan begitulah dengan kaedah mengenal ALLAH SWT. Hukum mengenal ALLAH itu wajib, malah ia diletakkan pada tempat yang pertama dan utama dalam ajaran Islam. Seseorang itu tidak akan dapat mengenal ALLAH dengan setepat-tepatnya kalau dia tidak mengetahui hukum akal. Dengan mengetahui hukum akal, ia menjadi sebab untuk kita mengenal ALLAH SWT. Oleh itu, mengetahui hukum akal itu wajib.

Apakah takrif hukum akal Hukum akal ialah menetapkan sesuatu perkara kepada suatu perkara yang lain, atau menafikan suatu perkara daripada perkara yang lain. Dan dalam menetapkan sesuatu hukum itu, ia tidak berkehendakkan kepada dicoba.

Misalnya, dua campur dua, empat. Dalam hal ini, akal menetapkan dua campur dua itu sama dengan empat. Begitu jugalah dalam hal-hal lain yang seumpama ini. Akallah yang menetapkan satu-satu hukum itu, bukan adat dan bukan juga syarak.

Apabila hukum itu ditetapkan oleh syarak, ia bersumberkan Al Quran dan hadis. Tetapi dalam hal-hal seperti tadi, akal saja yang menetapkannya.

Satu contoh yang lain ialah, seorang anak itu tidak bisa menjadi lebih tua daripada ayahnya dalam masa (waktu) yang sama. Atau dengan kata-kata lain, seorang anak itu tidak bisa lebih dahulu daripada ayahnya. Hukum seperti ini hanya ditetapkan oleh akal. Akal kita mengatakan bahwa seorang ayah itu pasti lebih tua daripada anaknya.

Contoh lain, setiap jirim ataupun benda mempunyai sifat-sifat yang mendatang, termasuk sifat-sifat yang berlawanan antara satu dengan yang lain. Umpamanya sifat gerak dan sifat diam. Setiap benda atau jirim bisa bergerak atau digerakkan, dan bisa diam atau didiamkan.

Tangan kita misalnya, adalah satu jirim atau benda, dan ia bisa bergerak dan bisa diam. Sifat gerak dan diam itu dua sifat yang berlawanan. Menurut hukum yang telah ditetapkan oleh akal, dua sifat yang berlawanan ini tidak bisa terjadi serentak dalam satu ketika. Artinya, tangan kita ini tidak bisa bergerak dan diam dalam satu masa yang sama.

Kita bisa gerakkan tangan kita dan kita bisa diamkan ia. Bisa jadi selepas kita gerakkan, kita diamkan ia, atau selepas ia diam kita gerakkan. Untuk kita gerakkan dan kita diamkan tangan kita serentak, tentu tidak bisa. Begitu juga diri kita ini, tak bisa kita lakukan gerak dan diam serentak.

Contoh sifat berlawanan yang lain ialah malam dan siang. Mana bisa malam dan siang itu berlaku dalam masa yang sama. Ia belum pernah terjadi. ‘Dan begitulah seterusnya dengan sifat-sifat berlawanan yang lain. Tidak akan berlaku sifat-sifat berlawanan itu serentak dalam satu jirim.

Yang bisa berlaku ialah secara bergilir-gilir. Di antara gerak dan diam misalnya, bisa jadi gerak berlaku dahulu kemudian baru diam, atau bisa jadi diam berlaku dahulu kemudian baru gerak. Begitu juga antara siang dengan malam bisa jadi siang berlaku dahulu, kemudian baru malam, atau malam dahulu kemudian baru siang. Semua ini, akal yang menetapkannya, bukan adat dan bukan syarak. Ini yang dikatakan hukum akal.

Untuk lebih jelas, kita turunkan satu contoh lagi. Akal telah menetapkan bahwa dua atau tiga dan sebagainya lebih banyak daripada satu. Dan satu itu kurang daripada dua atau tiga, dan sebagainya. Akal telah menetapkan demikian dan sekali-kali akal tidak bisa menerima yang satu itu lebih daripada dua atau tiga dan sebagainya.

Kemudian, hukum akal ini tidak perlu dicoba-coba. Umpamanya, hukum akal yang menetapkan bahwa ayah itu lebih tua daripada anak, tidak perlu dicoba-coba seperti kita banding-bandingkan antara anak dan ayah. Tak perlu dibuat demikian karena secara spontan akal menerima bahwa anak itu lebih muda daripada ayah, atau ayah itu lebih tua daripada anak. Jadi, hukum akal yang menetapkan bahwa ayah itu lebih tua daripada anak tak perlu dicoba-coba.

Hukum Adat
Yang berkehendak kepada dicoba-coba ialah hukum adat. Setelah dicoba-coba ratusan kali, ribuan kali dan sebagainya, begitu juga yang terjadi. Dan setelah diperhati-hatikan begitu yang terjadi. Seperti misalnya, api itu membakar. Dari dahulu hinggalah sekarang, api itu kita dapati tetap membakar. Sudah begitu adatnya. Tidak pernah kita lihat yang api tidak membakar. Dan yang menetapkan api itu membakar bukan akal tetapi adat. Bukan juga syarak.

Kita tidak jumpa di dalam Quran dan hadis, nas yang mengatakan bahwa api wajib membakar. Syarak tidak mengatakan demikian. Apa yang kita dapati di dalam syariat, tiap suatu yang ada ini tidak bisa memberi bekas melainkan ALLAH SWT. Sebab itu, dari segi syariat, api tidak bisa memberi kesan bakar kalau tidak dengan izin ALLAH SWT. Jadi, dari segi syariat, bukan api itu yang menyebabkan terbakar. Ia hanya menjadi sebab saja. Yaitu, sebab terbakar itu karena api. Sudah demikian ALLAH hendak jadikan sesuatu itu; mesti ada sebab-sebabnya.

Tetapi, pada adat, api itu pasti membakar. Sudah puluhan malah ribuan tahun dapat disaksikan bahwa api itu pasti membakar. Yang menetapkan ini ialah adat, bukan akal dan bukan juga syariat. Kalaulah akal yang menetapkan api itu pasti membakar, tentu ia dapat disalahkan karena di dalam sejarah, kita telah saksikan bahwa Nabi Ibrahim yang dilontarkan ke dalam api yang panas membara yang disediakan oleh Namrud dan rakyatnya, tidak pun hangus. Malah, yang dirasakan oleh Nabi Ibrahim adalah sejuk dan dingin saja. Jadi, tidak tepatlah kalau akal mengatakan yang setiap api itu membakar. Lebih-lebih lagi pada zaman ini, kita dapat saksikan ada orang bisa berjalan di atas api, seperti dilakukan oleh orang-orang beragama hindu dan buddha.

Artinya, kita dapat saksikan bahwa api itu tidak membakar dalam dua keadaan. Pertama, dalam riwayat Nabi Ibrahim a.s., api tidak membakarnya dengan kekuasaan ALLAH SWT sebagai limpahan rahmatNya ke atas baginda. Kedua, orang-orang beragama hindu dan buddha dapat berjalan di atas api yang tidak membakar, secara istidraj atau secara penipuan daripada syaitan.

Dengan ini menunjukkan bukan api yang memberi bekas tetapi adat telah menghukum atau menetapkan yang setiap api itu membakar. Sebab, sudah ribuan tahun diperhatikan demikian, serta sudah menjadi kebiasaan dan pengalaman manusia, setiap api itu membakar. Dalam hal ini, adat yang menghukumnya.

Jadi, kembali kita kepada penetapan hukum dari-pada akal tadi, ia tidak perlu dicoba-coba. Akal menetapkan sesuatu itu berlaku bukan hasil daripada pengalaman atau kajian manusia, tetapi secara spontan.

Kemudian, apa yang dapat kita pahamkan lagi dari-pada hukum akal ini ialah, tidak ada hubungan di antara hukum yang telah ditetapkan oleh akal dengan perbuatan seseorang mukallaf. Yang menetapkan sesuatu perkara itu ada hubungan dengan perbuatan mukallaf ialah syarak.

Misalnya, apabila seorang mukallaf hendak makan, kita dapat perhatikan bagaimana syariat menetapkannya. Dalam hal berpakaian juga, syarak menetapkan hukum-hukumnya. Begitu juga dalam perbuatan bergaul, syarak ada menetapkan hukum-hukumnya.

Jadi, kalau sesuatu hukum itu ada hubungannya dengan perbuatan mukallaf, ia bukan ditetapkan oleh akal atau adat, tetapi oleh syarak. Sebab, syariat atau undang-undang daripada ALLAH yang disampaikan kepada Rasulullah SAW itu, merangkumi segala perbuatan yang berlaku kepada mukallaf. Ia mengatur seluruh perbuatan mukallaf, daripada perbuatan yang kecil hinggalah kepada perbuatan yang sebesar-besarnya. Hatta perbuatan gerak hati seseorang itu pun diatur oleh syariat.

Keistimewaan Akal
Seterusnya, yang perlu kita ketahui tentang hukum akal ialah bahwa akal itu satu sifat yang ALLAH SWT jadikan pada manusia. Ia ALLAH letakkan pada otak manusia dengan segala ciri yang istimewa. Dengan adanya sifat ini, terbedalah manusia itu daripada makhluk-makhluk lain seperti hewan. Dalam arti kata yang lain, dengan adanya akal, termulialah manusia ini dibandingkan dengan makhluk lain di muka bumi Tuhan ini.

Di antara yang menjadikan istimewa dan mulianya kehidupan manusia ini dibandingkan dengan hewan ialah, dengan adanya akal, manusia bisa membangunkan kemajuan dan bisa melahirkan kehidupan yang bertamadun. Hewan yang tidak dibekalkan oleh ALLAH SWT dengan akal, tidak bisa meningkatkan cara hidupnya. Sebab itulah hewan tidak mempunyai kebudayaan. Cara hidup hewan adalah mengikut tabiat semulajadinya, sejak ia mula dicipta oleh Allah. Cuma kita tidak mengetahuinya karena tidak ada diceritakan di dalam kitab-kitab. Dan kita juga tidak tahu bila ia bermula. Bagi manusia, kita tahu ia bermula daripada Nabi Adam as.

Cara hidup hewan bermula sejak ia dijadikan. Misalnya, bagaimana kehidupan datuk nenek ayam itik yang mula-mula dahulu, begitulah kehidupan seluruh ayam ataupun itik yang ada hari ini; tidak berubah-ubah dan tidak meningkat-ningkat. Ayam itik tidak bisa membuat perubahan hidup karena ia tidak berakal. Kalau ayam itu tidak dibuatkan rumah atau reban oleh tuannya, tidak berumah atau berebanlah hidupnya. Dan begitulah juga dengan hewan-hewan lain.

Berbeda halnya dengan manusia. Dengan adanya akal, manusia bisa berkebudayaan dan bertamadun. Manusia bisa membuat perubahan dan peningkatan hidupnya dari satu masa ke satu masa. Jadi, akal begitu berperanan sekali kepada manusia, malah mempunyai peranan yang cukup utama yang meletakkan kemuliaan manusia itu sendiri. Sebab itu, Allah mengingatkan kita di dalam Al Quran tentang peranan akal. Firman Allah:

Terjemahannya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki daripada yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna ke atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
(Al Israk: 70)


Di dalam ayat di atas, Allah menyatakan kepada kita betapa Allah telah memuliakan anak cucu Nabi Adam yaitu manusia, yang diberi kelebihan-kelebihan berbanding dengan makhluk lain ciptaan ALLAH. Manusia telah dibekalkan oleh ALLAH SWT dengan akal hingga ALLAH menyerahkan daratan dan lautan untuk dikuasai oleh mereka.

Dengan akal, manusia telah dapat membongkar segala khazanah di dalam lautan, daripada ikannya, mutiaranya, beliannya, hinggalah kepada minyak galiannya dan bermacam-macam khazanah lagi. Malah manusia juga telah dapat menggunakan laut untuk memudahkan kehidupan. Misalnya, manusia telah menghasilkan kapal yang bergerak di permukaan laut, dan kapal selam yang bisa bergerak di dalam laut seperti ikan.

Akal pikiran yang ada pada manusia seterusnya telah membisakan manusia menguasai angkasa lepas. Ertinya, bukan saja lautan, malah daratan dan seluruhnya juga telah Allah serahkan kepada manusia. Dengan penguasaan manusia di bidang angkasa lepas, hari ini sudah ada manusia yang sampai ke bulan. Semua keupayaan dan kemampuan ini bukan disebabkan oleh kekuatan fizikal atau kekuatan lahir manusia, tetapi disebabkan kekuatan tenaga berpikir. Ini ternyata sekali berlaku di kalangan manusia di Barat sana.

Orang-orang Barat mengasah sungguh-sungguh tenaga pikir mereka hingga membisakan mereka mencipta berbagai-bagai perkara seperti radio, televisyen, kapal terbang, kapal angkasa dan lain-lain. Mereka tumpukan sungguh-sungguh kepada penggunaan akal pikiran mereka hinggakan kita dapati mereka tidak sempat untuk memikir fasal Tuhan. Setiap saat mereka berpikir dengan akal hingga mereka lupa kepada Maha Pencipta, yang memberi mereka akal itu. Ini yang malangnya.

Jika dibandingkan dengan umat Islam, walaupun kita tidak mengasah sungguh-sungguh kekuatan akal pikiran ini, tetapi tidaklah sampai kita melupakan Tuhan. Tidaklah sampai kita kufur, ingkar dan berbuat mungkar. Sedangkan mereka terus khayal dengan kekuatan akal pikiran mereka hingga mereka kufur dan ingkar kepada ALLAH SWT. Cuma, oleh karena mereka tumpukan sungguh-sungguh kepada akal pikiran mereka itu, mereka lebih maju daripada kita

Apakah umat Islam mau mengejarkan dunia seperti mereka?
Kalau mau, caranya amat mudah sekali. Buatlah seperti yang mereka buat yaitu asah sungguh-sungguh akal pikiran kita dan lupakan terus ALLAH SWT. Tapi ingat, Neraka ALLAH akan menanti kita. Sebab itulah, ALLAH juga mengingatkan kita dalam Al Quran, supaya kita jangan berkecil hati dengan Allah atau terpengaruh dengan orang-orang bukan Islam itu. Firman ALLAH:

Terjemahannya: Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu.
(At Taubah: 85)


Dalam ayat ini, kita dapat pahamkan bahwa ALLAH memang sengaja melebihkan orang-orang kafir itu dari segi kemajuan fizikal, dengan tujuan untuk menguji umat Islam sejauh mana mereka bisa mengingati ALLAH serta mengikut perintahnya.

Tetapi kalau umat Islam tidak tahan diuji, dia akan terpesona melihat serba majunya perniagaan, ekonomi, perdagangan dan lain-lainnya pada orang-orang kafir. Dia akan berlumba-lumba dengan orang kafir untuk mencapai segala kemajuan yang mereka capai. Andainya mereka maju dalam bidang sains dan teknologi, umat Islam pun mengejar kemajuan itu; konon mau seganding dengan orang kafir. Akhirnya, umat Islam pun melupakan ALLAH sebagaimana orang-orang kafir melupakan ALLAH .

Umat Islam Bisa Buru Kemajuan?
Oleh itu, umat Islam bisa mencari kemajuan walau dalam bidang apa sekalipun, tetapi jangan sampai lupa kepada ALLAH SWT. Carilah ilmu pengetahuan, kekayaan dunia, kemajuan ekonomi dan sebagainya; tapi jangan sampai meninggalkan sembahyang, mengabaikan ilmu fardhu ain, tidak menutup aurat dan sebagainya.

Tidak salah berpikir fasal dunia, asalkan tidak melupakan ALLAH. Artinya, di samping memikirkan dunia, umat Islam tidak harus melupakan ALLAH. Oleh itu, tentulah tidak sama pencapaiannya dengan orang-orang kafir yang menumpukan sepenuh usaha dan ikhtiar kepada dunia. Dan karena itu juga, janganlah umat Islam berkecil hati dengan ALLAH karena sudah demikian janji ALLAH.

Jadi, umat Islam tidak bisa meniru kemajuan orang-orang kafir. Cukuplah kita mencapai sekadar yang bisa kita capai mengikut kemampuan dan keupayaan kita, asal kita bisa hidup, bisa beribadah kepada ALLAH, bisa selamatkan iman, dan bisa mengelakkan kemungkaran dan maksiat.

Kalau umat Islam hendak berusaha juga sehingga mencapai kemajuan sepertimana yang dicapai oleh orang-orang kafir itu, artinya umat Islam hendak lari daripada mengingati ALLAH; itu yang sebenarnya. Dan akibat daripada itu, ALLAH sediakan azab di Neraka, karena orang-orang kafir itu tidak pernah memikirkan kehidupan Akhirat. Coba kita lihat apa firman ALLAH mengenai mereka. Firman ALLAH:

Terjemahannya: Kami telah masukkan kebanyakan jin dan manusia ke dalam Neraka Jahanam itu, yang mana mereka itu ada hati tetapi tidak mau memahami, ada mata tetapi tidak mau melihat dan ada telinga tetapi tidak mau mendengar. Maka mereka itu sama seperti binatang-binatang ternakan, bahkan lebih sesat daripada itu.
(Al A’rti l79)


Di sini jelas ALLAH. menggambarkan kepada kita betapa kebanyakan manusia dan jin, ALLAH masukkan ke dalam Neraka Jahanam karena mereka ada mata tetapi tidak melihat kebenaran, ada akal tetapi tidak digunakan untuk memikirkan kebenaran dan ada telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar kebenaran. Taraf mereka sama seperti binatang-binatang ternakan.

Mengapa ALLAH menyamakan mereka dengan binatang ternakan seperti ayam, itik, kambing, kerbau, lembu dan sebagainya. Mengapa ALLAH tidak menyebut binatang saja?

Semua binatang, sama ada liar ataupun diternak, sama-sama tidak ada akal. Tetapi binatang liar lebih merdeka atau lebih bebas berbuat sekehendak hati mereka. Misalnya, binatang liar bebas mencari makanan sendiri, tidak seperti binatang ternak yang terpaksa bergantung kepada tuannya. Kalau tuannya tidak memberi dia makan, tidak makanlah dia. Jadi, di antara kedua-dua jenis binatang ini, kehidupan binatang liar lebih baik karena mereka ada kebebasan. Kalau ALLAH ibaratkan orang-orang yang ingkar atau orang-orang kafir itu seperti binatang ternakan, maknanya mereka langsung tidak ada kebebasan.

Tidak bebasnya mereka itu karena, mata mereka tidak bisa melihat, akal mereka tidak bisa berpikir, dan telinga mereka tidak bisa mendengar. Artinya, keadaan mereka terkongkong sama sekali. Mereka langsung tidak mendapat kebenaran; tidak bisa melihat yang mana salah, yang mana benar, tidak bisa memikirkan yang mana salah, yang mana benar, dan tidak bisa mendengar yang mana salah dan yang mana benar. Mereka dikongkong oleh hawa nafsu. Dengan kata lain, mereka menjadikan diri mereka hamba kepada hawa nafsu hingga menyebabkan mereka berpaut semata-mata kepada hawa nafsu itu, tidak kepada ALLAH SWT.

Jadi, padan benarlah kalau ALLAH samakan mereka itu dengan binatang ternak karena binatang ternak terpaksa bergantung kepada tuannya, tidak bebas mengikut sekehendak hati.

Mengapa lebih sesat daripada binatang?
Sudahlah disamakan dengan binatang ternak, mereka disebut pula oleh ALLAH sebagai lebih sesat daripada binatang. Mengapa? Sebabnya, binatang itu oleh karena tidak ada akal, tidak dapat dipimpin kepada kebaikan. Yang ada pada binatang hanya nafsu. Oleh itu, apa yang dilakukan oleh mereka kejahatan saja. Artinya, unsur-unsur kebaikan langsung tidak ada pada binatang-binatang. Tetapi unsur kejahatan ada pada mereka karena mereka ada nafsu. Sebab itulah binatang hanya terdorong untuk buat jahat.

Tidak ada sesuatu yang bisa mengawal binatang, disebabkan ia tidak ada akal. Kalau ia ada akal, syariatlah yang bisa mengawalnya.

Cuma, walaupun binatang hanya tahu berbuat jahat, perbuatan mereka masih terbatas. Umpamanya, kalau seekor tikus itu mencuri padi, ia tidak membawanya balik. Ia makan di tempat itu sampai kenyang. Lepas itu, baru dia balik. Begitu juga kalau kambing masuk ke kebun orang, ia makan sampai kenyang di situ juga. Bila sudah kenyang, baru ia balik. Tidak ada satu benda pun yang dibawa lari dari kebun orang itu.

Begitu juga kalau binatang-binatang bergaduh, mereka tidak bermesyuarat, berbincang dan mengatur strategi bagaimana hendak bergaduh. Selain itu, bila binatang bergaduh, dia tidak tahu hendak membela diri dengan meminta bantuan binatang-binatang lain. Binatang yang bergaduh itu saja yang terlibat. Yang lain, buat tak tahu saja. Tidak seperti manusia, kalau bergaduh, dia mengatur strategi. Kemudian dia mengajak orang lain berpakat bagaimana hendak mengalahkan musuhnya.

Artinya, di kalangan manusia, daripada seorang saja yang bergaduh, berpuluh-puluh malah ribuan orang lain terlibat sama. Satu negara bisa turut berperang kalau dua pemimpin negara bergaduh dan berselisih paham. Jadi, banyaklah kerusakan yang dibuat oleh manusia. Sebab itulah, manusia yang tidak menggunakan akal dan telinga, lebih sesat dan lebih berbahaya lagi daripada binatang-binatang ternak.

Akal Dorong Nafsu Buat Maksiat?
Oleh karena manusia ini ada akal di samping ada nafsu yang mendorong dia berbuat maksiat, kemudian akal tidak pula digunakan untuk menerima kebenaran, maka akal membantu lagi nafsu itu mendorong dia berbuat maksiat. Artinya, manusia lebih cepat lagi berbuat maksiat daripada binatang yang hanya mempunyai nafsu tetapi tidak mempunyai akal itu.

Bagaimana akal membantu nafsu mendorong manusia membuat kejahatan?
Tentulah dengan cara merancang atau mengatur bagaimana hendak melakukan kejahatan itu dan sabagainya. Jadi, munasabah benarlah ALLAH menyebut bahwa manusia yang mempunyai nafsu demikian lebih sesat lagi daripada binatang ternak.

Sebaliknya, kalau manusia bisa menggunakan akalnya sungguh-sungguh disebabkan akal manusia itu sifat semulajadinya memang baik, dan kalaulah kebaikan itu dipandu oleh syariat, kadang-kadang seseorang itu bisa mencapai taraf malaikat. Darjat dan kerohaniannya bisa sampai kepada tahap malaikat. Itulah yang berlaku kepada para rasul, para anbia dan para aulia besar.
Peranan Akal
Begitulah peranan akal yang jika digunakan sungguh-sungguh, membisakan manusia mendapat manfaat daripadanya. Dia bisa menjadi lebih mulia daripada makhluk yang lain.

Di samping itu, manusialah yang bisa menerima pengetahuan-pengetahuan yang memerlukan kepada berpikir, Ilmu-ilmu itu, kalau tidak dipikirkan, tidak akan dapat diperolehi. Tetapi oleh karena manusia ada akal, dia bisa memikirkan ilmu-ilmu pengetahuan itu.

Karena itu, hari ini bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah diperolehi manusia seperti ilmu alam, ilmu hisab, ilmu sains dan teknologi, ilmu kaji-bumi, ilmu psikologi, dan bermacam-macam ilmu pengetahuan lain. Kalau tidak ada akal, manusia tidak mungkin memperolehi semua ilmu itu.

Kemudian, dengan akal itu pula manusia bisa memikirkan kerja-kerja yang sulit dan yang halus. Apa saja pekerjaan dapat ditadbir dan disusun oleh manusia dengan sebaik-baiknya.

Jadi, kita dapati, daripada akal itu terbitnya segala manfaat dan kebajikan yang semua itu akan memberikan kebagiaan kepada manusia. Walau bagaimana-pun, syaratnya manusia mestilah dapat menggunakan akalnya itu dengan sebaik-baiknya dengan dipandu oleh syariat. Kalau tidak, disebabkan oleh akal, manusia bisa rusak binasa.

Samalah seperti peranan senjata api, ia bisa memberi manfaat kepada kita dengan syarat kita pandai menggunakannya. Misalnya, kalau datang musuh, perompak dan sebagainya, kita bisa mempertahankan diri dengan senjata api. Tetapi kalau kita tidak pandai menggunakannya, ia bisa merusakkan kita. Setengah-setengah orang membunuh diri dengan senjata apinya sendiri.

Begitulah dengan akal, kalau manusia menyalahgunakannya, rusaklah muka bumi ini, dan binasalah kehidupan manusia seluruhnya. Wujudlah huru-hara di atas bumi ALLAH ini, dan akan terjadilah sebagaimana yang ALLAH gambarkan:

Terjemahannya: Akan lahirlah kerusakan di daratan dan di lautan akibat daripada usaha manusia itu sendiri
(Ar Rum: 41)

Sifat Semulajadi Akal
Kemudian, walaupun akal itu sifat semulajadinya ALLAH jadikan baik, tetapi ada juga kebaikan-kebaikan yang tidak mampu dipikirkan oleh akal. Dalam hal ini, Allah bantu kekuatan akal itu dengan memberi syariat kepada manusia melalui para rasul.

Kalau hanya dengan kekuatan akal saja, manusia tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang sah dan mana yang batal, dan sebagainya. Ia perlu kepada satu kekuatan lain yaitu kekuatan syariat. Akal mesti disuluh oleh syariat. Barulah ia dapat memandu manusia kepada kesejahteraan dan keselamatan di dunia dan juga di Akhirat.

Kalau akal dibiarkan bersendiri, tanpa dibimbing oleh syariat, ia akan sesat. Akal ini akan mengeluarkan peraturan bagi manusia. Dari situlah timbulnya ideologi atau isme yang ada pada hari ini seperti komunisme, kapitalisme, sosialisme, dan sebagainya. Ideologi atau ismeisme ini akhirnya bertindak sebagai ‘syariat’ kepada manusia di seluruh dunia, dan manusia mengenepikan syariat yang sebenar daripada ALLAH SWT. Maka. rusaklah alam, rusaklah muka bumi Tuhan ini.

Buktinya, hari ini saja, manusia tidak pernah hidup aman damai karena kehidupan mereka dikawal oleh ismeisme yang lahir daripada otak manusia. Di mana-mana saja sudah tercetus pergaduhan dan peperangan. Tidak ada siapa pun bisa menyelesaikannya, hatta tempat rujuk semua negara sekalipun yaitu Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu. Kadang-kadang merujukkan kehidupan manusia kepada pertubuhan itu, umpama kita berhakim kepada beruk.

Jadi, walaupun tabiat semulajadi akal kita ini baik, ia masih perlu dipimpin oleh syariat supaya apa yang lahir daripada akal itu benar-benar dapat memimpin manusia kepada keselesaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di Akhirat.

Akal tidak bisa dibiarkan bersendirian karena tidak semua kebaikan mampu dipikirkannya. Sejarah ahli-ahli falsafah atau ahli-ahli pikir zaman dahulu membuktikan hal ini. Soctrates, Plato dan lain-lainnya, terbukti tidak mampu memikirkan perkara-perkara yang lebih halus dan rumit dalam hal-hal kebenaran. Ini karena kebenaran itu hanya datang daripada ALLAH. ALLAH sendiri yang mendatangkannya kepada manusia melalui rasul-rasulnya.


Posted in Perspektif Islam by ShaRil rOutH WelLinG
Email this post



Tidak ada komentar:

Posting Komentar