AREP NGGOLEKI LIYONE MONGGO TULIS NGISOR IKI .....

Senin, 22 Februari 2010

KEPRIHATINAN

AYAH TIRI MENJERUMUSKAN SISWI SMA MENJADI PSK


Kamis, 17 April 2008 | 08:22 WIB
SURABAYA - Sebetulnya bukan niat IWP untuk menjadi dirinya seperti sekarang. Rusaknya IWP, 19, siswi SMA swasta ternama di Surabaya utara hingga jadi pekerja seks komersial (PSK) pelajar, tak lepas dari kebobrokan ayah tirinya.


Siswi kelas III IPA itu kini meringkuk di penjara Polwiltabes Surabaya setelah ditangkap anggota Reskoba Idik II usai pesta sabu sabu (SS) dengan ‘tamu’ yang memesannya di kamar 222 Hotel Istana Permata Jl Dinoyo, Surabaya, Selasa (15/4) malam.

Cewek yang kos di kawasan Jl Tempel itu diringkus Kanit Idik II AKP A Efendi bersama anak buahnya saat akan keluar dari gerbang hotel. Begitu kamar 222 digeledah, ditemukan satu poket SS seberat 0,3 gram dan seperangkat alat isap SS.

“Hasil tes urine IWP positif. Kami menduga sebelum berbuat mesum, lebih dulu nyabu,” tutur Plh Kasat Narkoba Polwiltabes Surabaya AKP Totok Sumarianto, Rabu (16/4).

Saat ditemui Surya di Polwiltabes Surabaya, tersangka berperawakan mungil itu bicara blak-blakan tentang `pekerjaan sampingannya’ selain sebagai anak sekolah. ‘Pekerjaan’ berlumur dosa yang dilakukan hampir setahun ini, berawal dari perilaku ayah tirinya. Sambil menerawang langit-langit ruang penyidikan, ia menceritakan perilaku buruk ayah tirinya.

Sejak duduk di bangku kelas I SMA, ia kerap didatangi ayahnya saat tidur malam sembari pahanya digerayangi. Biasanya IWP langsung tersadar dan menendang ayahnya. Rupanya, ayah tiri IWP tidak begitu saja menyerah. Hampir tiap hari ia mendekati anaknya. Tapi usaha ayah bejat itu sia-sia. Merasa jengkel dengan anak tirinya, beberapa sarana penunjang sekolah mulai sepeda motor, ponsel dan biaya sekolah tidak diberikan. IWP dibiarkan begitu saja.

Dari kekalutan itu, IWP mulai berubah. Sebagai pelariannya, IWP sering cangkruk malam dengan teman-temannya di beberapa kafe di Surabaya menghabiskan uang sekolah. Saat tiba jatuh tempo bayar sekolah, IWP pun kelabakan. ”Uang tidak punya, kemana lagi aku harus mencari,” cerita IWP, Rabu (16/4).

Di tengah kegalauan itu, cewek berkulit sawo matang itu ketemu seorang temannya di sebuah kafe. Ia menceritakan masalahnya dengan ayah tirinya. Teman yang diajak curhat itu ternyata tak memberi solusi. Bahkan, ia ditawari melayani kencan orang lain dengan imbalan uang.

”Kan itu bisa mengganti uang yang tak diberi ayahmu. Malah lebih banyak. Mumpung ada orang di Bali cari perawan. Kamu dibayar Rp 10 juta,” ucap IWP menirukan ucapan temannya.

Tak kuasa oleh desakan, IWP bersama kenalan barunya itu menuju ke Bali naik sebuah travel. Seluruh biaya keberangkatan ditanggung orang yang pesan.

Begitu menerima uang Rp 10 juta, cewek berambut sebahu itu menyerahkan Rp 2,5 juta ke temannya sebagai tanda jasa, dan Rp 7,5 juta dibawa sendiri. Tak sampai sebulan, uang sudah ludes. Dipakai membeli ponsel tipe terbaru, baju, makan dan bayar sekolah.

”Aku di Bali bolos sekolah selama empat hari,” ucapnya.

Bagaimana rasanya kamu melayani pertama kali?” tanya Surya.

”Ya pasrah saja. Mau gimana lagi. Tapi, ini pengalaman menyakitkan,” kata IWP sambil menutup wajahnya.

Sepulang dari Bali, ia tidak banyak bicara pada ibu dan ayah tirinya dan tidak memberi tahu jika ’mahkotanya’ sudah terjual. Rupanya, kelakuan ayah tirinya tetap tidak berubah. Ia merayu anaknya agar diberi ’jatah’. Karena tak ingin ibunya ditinggal ayah tirinya, IWP akhirnya menyerahkan tubuhnya ke ayahnya. ”Dua kali aku dipaksa `berbuat`,” katanya.

Perbuatan itu akhirnya terendus ibunya. IWP memilih keluar rumah dan kos di kawasan Tanjungsari. Di awal-awal bulan, ibunya masih memberi Rp 200.000 – Rp 300.000 untuk kos, makan dan sekolah. Setelah beberapa bulan hidup di rumah kos, tersangka mulai berpikir kemana harus cari uang.

”Kan nggak mungkin aku terus seperti ini,” jelasnya.

Akhirnya, tersangka bekerja sebagai purel di sebuah tempat hiburan malam di kawasan Jl Mayjen Sungkono (khusus warga asing). Tiap hari ia menenggak minuman keras mulai merek Martell, Chivas Regal dan Johnnie Walker. Bahkan tersangka kerap menemani orang luar negeri yang bermukim di Surabaya untuk kencan.

Dari hasil kerjanya menemani tamu, ia bisa mendapat tips dari tamu antara Rp 100.000 - Rp 200.000. Namun gaji sebulan (dari melayani tamu) bisa Rp 3 juta – Rp 4 juta. B

”Awalnya, aku berusaha menabung. Tapi aku kena liver, karena sering mengonsumsi minuman. Ya uangnya habis lagi deh buat berobat,” ungkapnya.

Setelah livernya kena, ia tidak lagi bekerja di tempat hiburan malam. Ia memilih menjadi cewek panggilan. Tarif sekali main Rp 500.000 selama 1 jam. Setiap pekan, tersangka bisa menjaring 2-3 tamu.

Sejak itu, IWP akhirnya makin mencebur di dunia PSK. Bahkan, tersangka pernah diundang khusus ke Makassar dan daerah luar Jawa lainnya untuk melayani tamu yang menginginkan PSK pelajar. ”Aku disediakan tiket pulang pergi dan pulangnya diberi uang Rp 2 juta,” celetuknya.

IWP kini hamil sebulan. Ia yakin itu karena hubungan dengan pacarnya, bukan dengan para tamunya. ”Sebelumnya pacarku tak tahu aku jadi PSK. Dia sempat marah ketika mengerti, tapi ya reda sendiri,” kata IWP.

Kini, meski mendekati Ujian Akhir Nasional (UAN), IWP harus meringkuk di tahanan karena kasus narkoba. Plh Kasat Narkoba Polwiltabes Surabaya AKP Totok Sumarianto mengungkapkan, penyidik tetap memperhatikan apa yang diperlukan tersangka IWP. ”Mulai dari kandungannya hingga Unas akan kami urusi dan akan kami koordinasikan dengan Diknas,” tutur AKP Totok

INGIN HIDUP MEWAH 25% PELACUR SUKABUMI SISWI SEKOLAH!!

2009 Desember 3
tags: gaya hidup, konsumerisme, pelacur, pelajar, siswi, siswi melacur
by nusantaraku

Sekitar 25 persen dari 239 wanita pekerja seks (WPS) langsung di Kota Sukabumi, Jawa Barat, berasal dari kaum pelajar yang disebabkan oleh keinginan hidup mewah.
(Antaranews-Jakarta,2 Desember 2009)

Sebanyak 20 siswi sebuah SMP negeri di Tambora, Jakarta Barat,kerap mangkal menunggu pria hidung belang di lokasi prostitusi liar. Para siswi ini nekat terjun ke dunia malam agar memiliki uang dan handphone model terakhir.
(Kompas-Sukabumi, 27 Desember 2008.)

Dua berita di atas terjadi pada tempat dan tahun berbeda. Satu di ibukota pada 2008, sedangkan satu lagi terjadi 2009 di sebuah kota yang terletak 115 km sebelah selatan Jakarta. Kedua berita tersebut berbicara tentang prostitusi kalangan pelajar. Dan kedua motif prostitusi pelajar tersebut sama yakni munculnya paradigma “gaya hidup mewah/konsumerisme mewah dan seks bebas“.

Paradigma ‘gaya hidup mewah/konsumerimse” ini begitu cepat merasuki generasi muda terutama kaum pelajar yang berada di perkotaan, dan tidak tertutup kemungkinan di daerah jauh dari perkotaan mengingat begitu cepatnya ’sosialisasi’ paradigma ini melalui teknologi multimedia (TV, majalah, internet). Meskipun Sukabumi berjarak 115 km dari Jakarta, toh sudah ditemukan pelajar yang bertindak menyimpang. Bagaimana tidak, tidak hanya seks bebas (free sex) yang menjadi hal biasa bagi sebagian kalangan remaja di perkotaan, namun transaksi prostitusi sudah terang-terangan terjadi pada anak-anak dibawah umur (17 tahun).

Berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 diperoleh pengakuan remaja bahwa :
- Sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks.
- Sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan.
- Sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi.
- Dari 2 juta wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja perempuan.
(Nusantaraku, Desember 2008.)

Pelacur*) Kalangan Pelajar, Melacur Karena Gaya Hidup Mewah

Kata PSK atau pekerja seks komersial selama ini dialamatkan bagi mereka yang melacurkan diri karena faktor ekonomi atau sebagai profesi. Karena kondisi ekonomi yang tertekan, maka banyak wanita yang melacurkan diri untuk menghidupi keluarga atau ‘terpaksa’ karena tidak ada lapangan pekerjaan. Namun dari sekian banyak tipe PSK ini, tidak sedikit dari mereka yang telah terjebak oleh mafia perdagangan manusia atau mengalami frustasi luar biasa. Mereka ini menjadi korban ekonomi dan kejahatan perdagangan manusia.

Bila PSK selama ini diasosiasikan sebagai pekerja demi memenuhi kebutuhan hidup mendasar, namun beberapa tahun terakhir, menjadi PSK tidak semata-mata lagi karena faktor ekonomi. Moti para siswi sekolah yang menjajahkan diri dengan harga beragam dari Rp 150.000 hingga beberapa juta mulai bergeser. Menurut Korlap Gerakan Narkoba dan AIDS (GPNA) Kota Sukabumi, Den Huri, menyebutkan bahwa terjadi pergeseran motif, dari faktor ekonomi menjadi gaya hidup mewah.

“Dulu, penyebab para pelajar menjadi WPS lantaran faktor ekonomi. Namun, saat ini mulai bergeser menjadi gaya hidup mewah”
Den Huri, Korlap GNPA Sukabumi (Antaranews)

Menurut Den Huri, para pelajar yang kurang mampu tergiur dengan temannya yang memiliki barang mewah, seperti handphone dan lainnya, sehingga mereka berkeinginan untuk menjadi PSK. Aktivitas PSK para pelajar dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan menggunakan fasilitas ponsel. Mereka tidak menjajakan dirinya secara terbuka seperti PSK lainnya.

Berdasarkan data yang ada, jumlah PSK di Kota Sukabumi mencapai 776, yang terdiri dari PSK langsung sebanyak 239 orang dan PSK tidak langsung (sampingan) sebanyak 537 orang. Dari 239 orang PSK langsung tersebut, 25% atau 60 orang PSK tersebut berasal berasal dari kaum pelajar. Para pelajar ini melacurkan diri lebih disebabkan oleh keinginan hidup mewah.

Melacur Keperawanan, Siswi SMP Tambora dihargai Rp 2 Juta

Pernyataan dan data yang disampaikan Den Huri tersebut tidaklah jauh dari realitas yang dialami oleh pelajar SMP pada akhir tahun 2008 silam. Sebanyak 20 siswi SMP Tambora (umumnya kelas 3 SMP) yang sering mangkal daerah Kalijodo dapat dijaring setelah salah satu siswi tertangkap basah oleh satpol PP DKI Jakarta bersama pihak-pihak terkait (SuryaOnline). Setelah melalui penelusuran panjang, para pelajar ini akhirnya mengakui bahwa mereka masuk ke dunia prostitusi karena “tidak tahan melihat” gaya hidup mewah dari rekan-rekannya dari orang kaya. Para siswi ini nekat terjun ke dunia malam hanya karena ingin memiliki uang, barang-barang mewah termasuk handphone model terakhir.

Hasrat yang tinggi untuk memiliki barang mewah tersebut disambut oleh para mucikari sebagai ‘gayung bersambut’, menjadikan ini peluang emas meraup keuntungan. Transaksi seks ABG ini dikoordinasi beberapa mucikari yang biasa beroperasi di Lokasari, Jakarta Barat. Melalui mucikari inilah para siswi yang masih di bawah umur itu dipertemukan dengan pria-pria hidung belang. Dari pengakuan beberapa siswi tersebut diketahui bahwa petualangan mereka diawali dengan menjual keperawanan kepada pria hidung belang Rp 2 juta (SuryaOnline). Setelah keperawan mereka terjual seharga Rp 2 juta, lalu para siswi 15-an tahun ini meneruskannya menjadi penjaja seks dengan tarif setiap kencan Rp 300.000.

“Sekarang gue lagi jomblo. Sudah dua tahun putus. Sakit juga! Habis pacaran empat tahun, dan sudah kayak suami-istri. Dulu, tiap kali ketemu, gejolak seks muncul begitu saja. Terus ML (making love) deh. Biasanya kita lakuin kegiatan itu di hotel. Kadang di rumah juga, kalau orang rumah lagi pergi semua. Kalau rumah nggak lagi sepi ya paling cuma berani ciuman dan raba sana-sini. Buat gue, semua itu biasa. Gue nglakuinnya karena merasa yakin doi bakal jadi suami gue. Gue nggak takut dosa. Kan kita sama-sama mau..“
–Pengakuan Neila (nama samara), pelajar kelas sebuah SMA di Jakarta Timur sehabis UAN– (Nusantaraku)

Peran Orangtua, Pendidik dan Media Massa

Belajar dari beberapa data dan berita diatas (kasus prostitusi siswi SMP di Jakarta dan Sukabumi, seks bebas siswi SMA Jakarta serta survei Komnas PA bersama LPA), maka sudah semestinya pemerintah bersama masyarakat melihat ini sebagai tantangan besar bagi bangsa ini. Anak-anak dan remaja adalah generasi harapan penerus bangsa ini. Untuk menjadi penerus bangsa yang akan mengisi perjuangan bangsa, tentulah diharapkan orang-orang yang berwatak dan berintegritas. Orang-orang yang dididik dan ‘dibentuk’, cerdas sekaligus bermoral. Ada orang yang sejak lahir memang memiliki jiwa pemimpin, namun pada umumnya jiwa kepemimpinan dari para pemimpin dunia ini muncul setelah melalui proses belajar yang panjang.

Apabila pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan (Great Leader are Make, not Born), maka setiap lika-liku kehidupan seorang calon pemimpin sangatlah penting. Bila sejak kecil mereka memiliki masalah paradigma, maka kecil sekali kemungkinan mereka pada akhirnya menjadi pemimpin yang visionerl. Bila sejak kecil mereka memiliki masalah moralitas, maka kecil sekali kemungkinan mereka pada akhirnya menjadi pemimpin yang bermoral dan berintegritas. Dan apabila, krisis moralitas seperti kasus diatas kita biarkan, maka tidaklah mustahil bahwa nilai-nilai kultur positif nusantara hanya akan dapat ditemukan “museum moral Indonesia”.

Sementara, aksi-aksi demoralisasi masih tetap santer terdengar dan bahkan lebih progresif. Film porno kalangan remaja, siswa-siswi selalu menjadi berita nasional setidaknya tiap dua minggu sekali. Setiap berita ini muncul, maka animo netter naik beratus-ratus persen. Dalam salah satu kasus beberapa tahun yang lalu, ada seoraang anak SMP tega membunuh orang tuanya sendiri. Di tempat lain seorang anak SD bunuh diri dengan alasan tidak sanggup membayar SPP atau kisah anak SD lain yang bunuh diri hanya karena baju seragam hari itu tidak bisa dipakai karena basah terkena hujan. Tawuran pelajar SMA meski sudah mulai jarang kedengar, namun aksi pertikaian para mahasiswa kini menggantikan hot news.

Aksi dan aktivitas yang negatif ini tidak semata ditangani, namun harus dicegah. Aksi negatif lebih mudah menjamur daripada aksi positif. Indonesia memang tidak kekurangan siswa-siswi yang berprestasi hingga tingkat dunia dalam bidang sains, teknologi, seni, budaya, dan olahraga. Kualitas dasar anak Indonesia sangatlah, dan memiliki potensi yang besar untuk menjadi manusia yang berdaya manfaat tinggi bagi masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, semua potensi ini haruslah dikembang, sehingga kita perlu mendidik agar mereka tidak terjun ke gerbang kehancuran.

Siapakah yang paling bertanggungjawab dalam hal ini? Orang tua memiliki peranan nomor wahid. Pendidikan moral dan pekerti sudah semestinya dididik anak sejak dini ketika masa-masa terbesar hidup mereka berada di rumah bersama orang tua. Ketika mereka menginjak remaja, maka porsir terbesar jatuh ketangan pihak sekolah/guru. Pendidikan sekolah menjadi gerbang utama membentuk mindset, paradigma serta moralitas si anak ini. Hampir 1/2 ‘kehidupan’ siswa-siswi SMP-SMA berada di sekolah (6-8 jam di sekolah, 1-2 jam di luar sekolah, 6-8 jam di rumah, 7-9 jam tidur).

Pemuka agama seharusnya menjadi ‘pengawas moralitas’ masyarakat, namun banyak dari mereka terjebat dalam konflik kepentingan, politik hingga sebatas ‘artis’ lip service. Disini, peran pemerintah melalui media sangat penting dalam memproteksi anak-anak. Begitu juga, sistem pendidikan kita hendaknya memikirkan hal ini. Jangan sampai sistem pendidikan hanya dipandang sebagai mesin ‘produksi’ kelulusan kuantitatif. Seorang yang dinyatakan lulus hendaknya memikirkan faktor logika dan etika. Bukan sebatas angka UN, lalu orang lulus, namun moralitas diabaikan. Guru bukanlah mesin kelulusan, tapi guru adalah pendidik. Bukan juga semata pengajar, tapi sekali lagi pendidik!

Terakhir, semoga para orang tua untuk memberi perhatian yang baik kepada anak-anaknya. Jangan sampai anak-anak Anda masuk dalam daftar survei diatas. Karena berita diatas sangat mungkin fenomena gunung es yang terekspos di media.


JARINGAN PROSTITUSI ABG DI SERANG

Selasa (24/2) lalu, aparat Polres Serang berhasil membongkar jaringan prostitusi ABG terselubung. Bagaimana seluk-beluk prostitusi itu?

AGUS PRIWANDONO – Serang

Anak baru gede atau ABG yang menjadi pemuas laki-laki hidung belang yang ditangkap polisi adalah HS (18), IS (17), dan EN (14). Layaknya remaja sekarang, mereka juga memiliki pacar. Tapi keluarga maupun pacar tidak mengetahui profesi sampingan ketiga anak baru gede (ABG) yang semuanya masih berstatus pelajar ini. Jaringan prostitusi yang melibatkan ABG di Kota Serang ini sudah berjalan lama.
Menurut keterangan Satuan Reserse Polres Serang, penjual ABG-ABG itu, Yeti Nurhayati (21) tinggal di Perumahan Sankyu Blok F-1 No 12, Desa/Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang. Dia baru menjalankan perannya sebagai “Mami” ABG-ABG ini sejak dua bulan lalu.
Mantan penyanyi kafe ini hanya meneruskan bisnis suaminya, Cecep alias Iwan, asal kawasan Benggala Masjid, Kelurahan Cipare, Kota Serang, yang telah berlangsung tahunan. Cecep alias Iwan telah ditangkap Polda Metro Jaya. Dia menjadi tersangka kasus perdagangan manusia untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Kalijodo, Jakarta Utara.
Diperkirakan, Papi Iwan memiliki anak asuh berjumlah puluhan. Usianya, mulai dari anak-anak yang masih duduk di bangku SMP sampai anak kuliahan di wilayah Serang.
Diperkuat penuturan anggota Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Serang yang melakukan penyamaran ketika kasus ini terungkap pada Selasa (24/2). “Waktu saya transaksi dengan Mami lewat SMS (sort massage service), dia mengaku bisa menyediakan anak-anak ABG sampai kuliahan. Tapi saya minta yang usia SMP dan SMA,” katanya yang enggan namanya dikorankan.
Mengingat Mami Yeti memiliki anak usia 1,5 tahun dan 5 bulan, dia menjalankan kembali bisnis suaminya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Mami Yeti tidak sulit memperdagangkan ABG untuk dijadikan PSK lantaran mereka saling kenal ketika Papi Iwan belum dipenjara.
Aturan yang diterapkan Mami Yeti tak beda jauh dengan Papi Iwan. Bagi anak-anak asuhnya yang masih duduk di bangku SMP dan SMA, “jam kerja” diberlakukan mulai pukul 15.00 hingga pukul 21.00. “Ya, biar orangtuanya tidak tahu,” kata Mami Yeti di ruang PPA Satreskrim Polres Serang.
Semenjak ditahan di sel Mapolres Serang, pada Jumat (27/2), Mami Yeti masih diperkenankan menyusui anaknya. Ini memang atas izin Kasat Reskrim Polres Serang Ajun Komisaris Polisi Sofwan Hermanto. Dia memberikan waktu untuk menyusui anaknya mulai pukul 11.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB.
Jam kerja bagi anak-anak SMP dan SMA yang diasuh Mami Yeti itu berlaku pula bagi pelanggannya. Pria hidung belang yang tidak hanya dari masyarakat biasa tidak bisa membooking mereka sebelum kewajibannya sebagai siswi-siswi SMP dan SMA selesai dilakukan.
Jam kerja sejak pukul 15.00 hingga pukul 21.00 itu juga untuk mengelabui pacar-pacar mereka yang tidak mengetahui jika ABG-ABG itu telah diperdagangkan oleh Mami Yeti untuk melayani pria hidung belang.
Hal itu berdasarkan pengakuan EN (14) yang masih tercatat sebagai siswi sebuah SMP swasta di Kota Serang, IS (17) yang masih menjadi siswi sebuah SMA swasta di Kota Serang, dan HS (18), juga siswi SMA swasta di Serang, kepada penyidik.
“Ketika diperiksa, mereka bekerja mulai jam tiga sore setelah pulang sekolah, sampai jam sembian malam agar tidak dicurigai orangtuanya. Mereka juga punya pacar, tapi (pacarnya- red) tidak tahu kalau mereka menjadi PSK,” kata Inspektur Polisi Dua Herlia Hartarani, Kanit PPA Satreskrim Polres Serang. Dikatakannya, EN, IS, dan HS telah dipulangkan ke rumah orangtua mereka masing-masing.
Dari ketiga korban ini, EN merupakan anak asuh Mami Yeti yang paling gress. Di tangan Mami Yeti, EN baru melayani 3 pelanggannya.
Seperti HS yang sedikit lebih lama menjadi PSK ABG, EN nekat terjun ke dunia prostitusi karena didorong faktor ekonomi keluarganya. Anak seusianya yang ingin memakai pakaian, sepatu, dan handphone bagus dan mahal tidak menolak ketika diajak IS dan HS untuk menjadi PSK. Terlebih, keperawanan EN telah direnggut pacarnya.
“Jadi, perekrutannya tidak langsung dilakukan Mami Yeti. EN diajak IS. Kata IS, daripada melayani pacar dan tidak dapat duit, tidak ada salahnya melayani orang lain tapi dapat duit,” terang Herlia.
Menurut Herlia, di antara 3 anak buah Mami Yeti itu, IS yang paling banyak jam terbangnya. Merasakan enaknya uang, membuat siswi kelas 2 SMA ini beberapa minggu tidak masuk sekolah.
Dengan pelayanannya yang lebih dibanding HS dan EN, IS kerap mendapatkan tarif tambahan dari pelanggannya yang tak jarang dari kalangan anggota dewan.
“Dia pernah diajak ke Jakarta oleh anggota dewan, kami tidak tahu dari dewan mana. IS bisa dapat tarif tambahan di luar tarif yang ditentukan Mami Yeti sebesar Rp 500 ribu kalau pelanggannya puas,” ujar Herlia.
Dari penuturan IS, pilihan hidupnya itu didasari oleh kondisi keluarganya. IS merupakan anak pertama dari 3 bersaudara dari sebuah keluarga broken home.
Bapak-ibunya telah bercerai. IS dan kedua adiknya ikut orangtua laki-laki yang pengangguran, sementara ibu kandungnya telah dinikahi oleh seorang pria yang juga pengangguran.
Karenanya, IS menjadi tulang punggung bapak dan kedua adik kandungnya. Untuk melancarkan profesi gandanya, IS hidup seorang diri dengan menyewa sebuah kamar kos di Lingkungan Rau, Kota Serang.
Mengenai tempat tinggal Mami Yeti, Radar Banten mendapatkan keterangan bantahan dari Direktur PT Sankyu Indonesia AA Dharma Wijaya. Bahwa, Mami Yeti tidak tinggal di Perumahan Sankyu, akan tetapi tinggal di Perumahan Bukit Pelamunan Permai, Kecamatan Kramatwatu. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar